Kamis, 03 Februari 2011

Psikologi Wanita

Kasih Ibu
(Dra. Srisiuni Sugoto, M.Si.)

Kalau kita pernah sekolah di Taman Kanak-kanak di indonesia, umumnya kita pernah menyanyikan lagu ini, “Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.” Lalu bagaimana dengan kejadian ibu An, Bandung, yang membunuh ketiga anaknya dengan dibekap. Berdasarkan tulisan Yenti Aprianti (Kompas, 21 Juni 2006), An telah diperiksa psikolog dan menunjukkan kesan paranoid (perasaan takut yang berlebihan) akut dan depresi. An adalah anak pertama dari tiga bersaudara dan lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan ibunya seorang dokter yang sibuk. An lulus dari Jurusan Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1999.

Menurut Iwan Hilmansyah, salah satu pengacara An, ibu yang pendiam ini, mudah putus asa, tidak percaya pada kemampuannya, dan perfecsionis. Sikapnya itu diperlihatkan saat mengasuh ketiga anaknya. Ia berharap ketiga anaknya dimasukkan kesekolah yang paling baik, sedangkan suaminya ingin anaknya dimasukkan ke sekolah yang sederhana. An juga merasa bahwa di dekatnya, anak-anaknya sering sakit dan tidak gembira. Sementara jika dekat suaminya dan keluarga lainnya, anak-anak tampak ceria.

Menurut tetangga, An pendiam dan jarang bersosialisasi. Menurut informasi, sejak anak ketiganya lahir An malas mandi. Kadang-kadang dia tidak mandi selama dua sampai tiga hari. Suami An bergaji sekitar Rp 1,8 juta per bulan. Suami An yang tengah kuliah di jenjang S2 Studi Pembangunan ITB itu pernah meminta bantuan mengontrak rumah kepada Sekretaris Yayasan Pembina Masjid, tempatnya bekerja. Hasil persidangan membebaskan An karena dianggap 'sakit jiwa' sehingga tidak dapat diminta pertanggujawabannya.

Beberapa bulan kemudian, seorang ibu di Malang membunuh anak-anaknya, setelah itu ia bunuh diri (Kompas, 12 Maret 2007). Kasus ini terjadi diduga karena masalah ekonomi, tetapi dibantah oleh suaminya. Anaknya sekolah di sekolah swasta dengan uang sekolah diatas rata-rata dari sekolah biasa lainnya, itupun menurut pihak sekolah, mereka telah memberi keringanan dalam pembayaran uang sekolah. Kasus pembunuhan ibu terhadap anaknya juga terjadi di negara-negara lain, seperti Malaysia, India, Belanda, dll.

Apakah penyebab terjadinya dua kasus ini karena masalah ekonomi? Apakah jika keadaan ekonomi keluarga sangat baik, maka dipastikan tidak ada masalah? Jawabannya tentu tidak. Kalau hanya faktor ekonomi sebagai satu-satunya penentu tidak terjadi masalah dalam keluarga, mengapa ada pasangan yang sangat kaya bercerai?, dan mengapa ada kekerasan dalam rumah tangga?, dan mengapa banyak anak-anak yang menyimpang perilakunya berasal dari keluarga kaya?.

Tidak setiap perempuan 'siap' untuk menjadi ibu, karena sebagai seorang ibu, mau tidak mau tidak dapat memfokuskan pada kepentingan dirinya sendiri (egois), tetapi juga mesti membagi perhatiannya terhadap suami, anak-anak, dan keluarga besarnya. Seperti yang berulang-ulang saya pernah tuliskan, bahwa jika kita tidak siap secara psikis atau mental menjadi seorang ibu maka lebih baik kita tidak mempunyai anak, karena kita akan menambah jumlah individu yang bermasalah dalam dunia.

Berdasarkan dua kasus ibu tersebut, kita dapat ikut merasakan kegalauan yang dirasakan sebelum mereka melakukan pembunuhan tersebut. Kalau boleh saya menduga, sepertinya ada perbedaan persepsi antara suami dan istri tentang cukup dan tidak cukup terhadap masalah keadaan ekonomi keluarga yang berdampak terhadap pendidikan anak. Suami menganggap bahwa keadaan ekonomi keluarga cukup dan cukup pula untuk menyekolahkan anak di sekolah yang sederhana, sebaliknya istri menganggap ekonomi keluarga mereka tidak cukup sehingga tidak sanggup menyekolahkan anak ke sekolah yang paling baik.

Sebelum pernikahan, sebaiknya selain memeriksakan kesehatan fisik maka juga perlu dipertimbangkan kesehatan psikis masing-masing pasangan. Pada saat berpacaran, jika masing-masing pihak telah mengetahui kelebihan dan kelemahan dalam karakter pasangannya, maka mereka perlu memprediksikan apakah setelah mereka menikah, mereka juga sanggup menerima dan memahami karakter pasangannya tersebut. Persiapan ini diharapkan tidak memunculkan penyesalan setelah pernikahan karena tidak tertutup kemungkinan memicu terjadinya perceraian.

Selain itu, perbedaan persepsi terhadap sesuatu, selalu dikomunikasikan untuk mencari titik temu yang disepakati dengan hati yang damai sejahtera, tanpa ada perasaan dari salah satu pihak yang dikalahkan. Mengkomunikasikan perbedaan persepsi dengan melandaskan pada solusi menang-menang bagi kedua belah pihak dapat mengurangi pertengkaran selama berpacaran dan pernikahan. Hal itu dimungkinkan terjadi kalau ada pengendalian emosi yang matang dari masing-masing pasangan.

Saya tidak tahu bentuk komunikasi dalam dua keluarga tersebut, karena kalau dilihat kedekatan anak-anak dengan ayahnya, maka dapat dibayangkan mereka adalah tipe ayah yang menyayangi anak-anaknya. Pertanyaannya, apakah mereka juga mampu memahami perasaan-perasaan istrinya yang sedang 'sakit'? Dengan latar belakang pendidikan yang baik, sebetulnya suami dapat lebih sensitif terhadap perubahan-perubahan tingkah laku yang ditampilkan oleh istrinya. Bukannya saya menyalahkan pihak suami, sama sekali tidak, karena itu bukan wewenang saya sebagai manusia. Kalaupun kita telah mengetahui ada sesuatu yang 'tidak beres' dengan pasangan kita, maka langkah pertama yang mesti kita ambil adalah menyelamatkan anak-anak kita, supaya kedua kasus tersebut tidak terulang dan terulang lagi.

Saya telah merasakan menjadi seorang ibu. Saya selalu belajar dan belajar untuk dapat menikmati peran saya sebagai ibu dalam setiap perilaku yang ditampilkan anak saya. Saya bukanlah ibu yang sempurna, karena ternyata sebagai psikolog, saya menyadari bahwa saya juga mengalami 'kesalahan' dalam mengasuh anak tunggal saya. Hanya saya selalu menganggap bahwa bagaimanapun keadaan anak saya, ia adalah anak pemberian Tuhan yang mesti saya didik, sayangi, dan menerimanya sebagaimana adanya.

Mungkin saya dapat berprilaku seperti ini, karena saya juga mempunyai seorang ibu yang sangat menyayangi saya dan dua kakak perempuan saya. Saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena telah memberi mami dan almarhum papi yang sangat luar biasa bagi kami anak-anaknya.

Kalaupun diantara kalian, ada yang tidak mempunyai ayah dan ibu yang peduli dengan anak-anaknya, segera ambil keputusan untuk minta belas kasihan Tuhan supaya mampu mengampuni mereka karena mereka mungkin tidak mempunyai pengalaman disayangi oleh kedua orangtuanya. Kemudian mengintrospeksi diri tentang cara kita sebagai ibu dalam mendidik anak-anak kita, maka kita telah mampu memberi kasih sayang dan disiplin secara seimbang kepada anak-anak kita.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kita dapat menikmati kebersamaan dengan anak-anak kita. Thomas Carlyle mengatakan, “Who is it that loves me and will love me forever with an affection which no chance, no misery, no crime of mine can do away? It is you, my mother.”Tuhan memberkati.


Makasih ma....atas segala perjuangan,kasih dan kebaikanmu terhadapku selama ini....
Maaf kalau selama ini ada dari sikap maupun perkataan saya yang menyakitkan hati mama.........
Sekarang sayapun telah menjadi seorang ibu, tau bagaimana susahnya perjuangan mengandung selama 9 bulan, bagaimana sakitnya melahirkan, dan saat ini mengerti bagaimana merasa sedihnya ketika anak kita sakit atau kurang baik dalam pendidikannya, ataupun tidak manut terhadao orangtuanya.....
Beribu-ribu kata penyesalan yang ingin saya utarakan ke mama......
Dan beribu-ribu rasa syukur kepada Tuhan karena telah memberikan saya sosok mama yang baik......
Saya berdoa agar mama sehat selalu, panjang umur dll......Amiiin (bertha)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar