Senin, 21 Februari 2011

K.A.S.I.H

Kasih: Tidak Menyimpan
Kesalahan Orang Lain


Kasih tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain”
(1 Korintus 13 5b)

Tak dapat dihindari, ada kalanya kita bertemu atau mengenal dengan seseorang yang sangat menyebalkan. Saat itulah kekristenan kita sedang diuji. Bukankah selama ini orang Kristen dikenal karena kasih? Tapi apa itu berarti menjadi orang kristen, kita tidak pernah marah sama sekali? Tentu saja bukan itu yang dimaksudkan, bukan? Tuhan Yesus juga pernah marah karena ada orang berjualan di rumah Tuhan. Tuhan Yesus pernah marah pada ahli Taurat yang merasa diri mereka suci dan paling benar.

Marah, mungkin saja kita perlukan. Tapi, bukan pemarah, lho? Antara marah dan pemarah perbedaannya sangat besar. Pemarah itu tidak pernah melihat sgala sesuatu menjadi benar. Selalu saja ada yang dianggap salah dan menyebabkan si pemarah tidak suka. Akibatnya, ia marah lagi. Nah,,,itu pemarah.

Tidak pemarah juga tidak sama dengan menyimpan kesalahan orang lain. Ini kasus lebih gawat lagi. Sepertinya tidak masalah, namun ternyata orang ini malah menyimpan dendam pada orang yang menjengkelkan hatinya. Paulus katakan, kasih tidak pemarah. Tapi , kasih juga tidak menyimpan kesalahan orang lain.

Pada umumnya, orang yang marah dengan cepat bisa melampiaskan kekesalan hatinya. Setelah itu, dengan cepat semuanya selesai. Sepertinya tidak pernah ada masalah. Tetapi pemarah juga tidak asyik. Orang bisa-bisa tidak berani menyatakan pendapat karena takut pada si pemarah.

Sedangkan orang yang nampaknya biasa-biasa saja, bisa sangat berbahaya bila ternyata ia menyimpan kesalahan orang lain. Ingat peristiwa Kain membunuh Habel, saudaranya, kan? Kain menyimpan rasa sakit hati itu hingga ia tak dapat mengekang perasaannya lagi. Bunuh Habel, itu dianggapnya sebagai jalan untuk dapat melampiaskan kekesalan hatinya pada Habel.

Pribadi bernama Yusuf adalah teladan baik bagi kita untuk dapat mengekang kemarahan sekaligus tidak menyimpan kesalahan orang lain. Perhatikan apa yang terjadi pada Yusuf, ia dibenci saudaranya, dibuang ke sumur, dijual sebagai budak dan akhirnya ia dijebloskan dalam penjara. Apakah Yusuf punya alasan untuk marah kepada saudaranya? Ada dong...Tapi Yusuf tidak mau ambil kesempatan untuk marah, maka iblis akan menungganggi kemarahan itu menjadi kebencian dan dendam kesumat (Efesus 4:26-27).

Sebaliknya, Yusuf tetap memilih untuk mengasihi saudaranya. Ia belajar untuk melihat bahwa segala sesuatu yang terjadi padanya sebagai rencana Tuhan atas hidupnya dan juga bangsanya (Kejadian 45:4-8 > “Tetapi sekarang,janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu”). Wow, Yusuf memandang masalah berat yang dihadapinya dari sudut pandang Tuhan. Itu yang membuat Yusuf tidak marah dan tidak menyimpan kesalahan saudara-saudaranya.

Ketika kita mengetahui ada orang yang tidak berbuat baik pada kita, apakah kita dapat melihat hal itu sebagai hal terbaik yang dipersiapkan Tuhan bagi kita? Mengasihi berarti memberikan semua yang terbaik meski tidak ada alasan bagi kita untuk berbuat baik.

Tuhan telah mengasihi kita tanpa syarat dan tanpa batas. Apakah kita bisa mengasihi sesama kita tanpa syarat dan batas juga? Ini adalah perintah Tuhan, ini bukan permintaan.

Inilah perintah yang kita terima dari Dia: Siapa yang mengasihi Allah, ia juga harus mengasihi saudara seimannya” (1Yohanes 4:21).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar